Biografi Singkat, Bapak Demokrasi-Pluralis
Presiden Kiai Haji Abdurrahman Wahid
atau dikenal sebagai Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 7
September 1940. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara dari
keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek
dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan.
Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan
menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah
putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Selain Gus Dur,
adiknya Gus Dur juga merupakan sosok tokoh nasional.
Berdasarkan silsilah keluarga, Gus Dur
mengaku memiliki darah Tionghoa yakni dari keturunan Tan Kim Han yang
menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa),
pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak dari
Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V (Suara Merdeka, 22 Maret 2004).
Gus Dur sempat kuliah di Universitas Al
Azhar di Kairo-Mesir (tidak selesai) selama 2 tahun dan melanjutkan
studinya di Universitas Baghdad-Irak. Selesai masa studinya, Gus Dur
pun pulang ke Indonesia dan bergabung dengan Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971. Gus Dur
terjun dalam dunia jurnalistik sebagai kaum ‘cendekiawan’ muslim yang
progresif yang berjiwa sosial demokrat. Pada masa yang sama, Gus Dur
terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Hal
ini dilakukan demi menjaga agar nilai-nilai tradisional pesantren tidak
tergerus, pada saat yang sama mengembangkan pesantren.
Hal ini disebabkan pada saat itu, pesantren berusaha mendapatkan
pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah.
Karir KH Abdurrahman Wahid terus
merangkak dan menjadi penulis nuntuk majalah Tempo dan koran Kompas.
Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi
sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan
banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus
pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama
keluarganya.
Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus
Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia
bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan
mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya (Barton.2002. Biografi Gus Dur, LKiS, halaman 108)
Sakit Bukan Menjadi Penghalang Mengabdi
Pada Januari 1998, Gus Dur diserang
stroke dan berhasil diselamatkan oleh tim dokter. Namun, sebagai
akibatnya kondisi kesehatan dan penglihatan Presiden RI ke-4 ini
memburuk. Selain karena stroke, diduga masalah kesehatannya juga
disebabkan faktor keturunan yang disebabkan hubungan darah yang erat
diantara orangtuanya.
Dalam keterbatasan fisik dan
kesehatnnya, Gus Dur terus mengabdikan diri untuk masyarakat dan
bangsa meski harus duduk di kursi roda. Meninggalnya Gus Dur pada 30
Desember 2009 ini membuat kita kehilangan sosok guru bangsa. Seorang
tokoh bangsa yang berani berbicara apa adanya atas nama keadilan dan
kebenaran dalam kemajemukan hidup di nusantara.
Selama hidupnya, Gus Dur mengabdikan
dirinya demi bangsa. Itu terwujud dalam pikiran dan tindakannya hampir
dalam sisi dimensi eksistensinya. Gus Dur lahir dan besar di tengah
suasana keislaman tradisional yang mewataki NU, tetapi di kepalanya
berkobar pemikiran modern. Bahkan dia dituduh terlalu liberal dalam
pikiran tentang keagamaan. Pada masa Orde Baru, ketika militer sangat
ditakuti, Gus Dur pasang badan melawan dwi fungsi ABRI. Sikap itu
diperlihatkan ketika menjadi Presiden dia tanpa ragu mengembalikan
tentara ke barak dan memisahkan polisi dari tentara.
Setelah tidak lagi menjabat presiden,
Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan,
dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia
berupaya kembali muncul sebagai Bapak Bangsa. Seperti sosoknya sebelum
menjabat presiden. Meski ia pernah menjadi Ketua Umum Nahdlatul Ulama
(NU), sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota
sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang yang sektarian. Ia
seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa
pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran. Ia seorang
tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.
“Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”
-Gus Dur- (diungkap kembali oleh Hermawi Taslim)
Dalam komitmennya yang penuh terhadap Indonesia yang plural,
Gus Dur muncul sebagai tokoh yang sarat kontroversi. Ia dikenal sebagai
sosok pembela yang benar. Ia berani berbicara dan berkata yang sesuai
dengan pemikirannya yang ia anggap benar, meskipun akan berseberangan
dengan banyak orang. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas.
Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang
berani. Reputasi ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde
Baru. Begitu menonjolnya peran ini sehingga ia malah dituduh lebih
dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas mayoritas Muslim
sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh sebagian jamaahnya
malah sudah dianggap sebagai seorang wali.
Karir Organisasi NU
Pada
awal 1980-an, Gus Dur terjun mengurus Nahdlatul Ulama (NU) setelah
tiga kali ditawarin oleh kakeknya. Dalam beberapa tahun, Gus Dur
berhasil mereformasi tubuh NU sehingga membuat namanya semakin populer
di kalangan NU. Pada Musyawarah Nasional 1984, Gus Dur didaulat sebagai
Ketua Umum NU. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam
mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan
kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah
sekular.
Selama memimpin organisasi massa NU, Gus Dur
dikenal kritis terhadap pemerintahan Soeharto. Pada Maret 1992, Gus
Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun
NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid
merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota
NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi
untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di
Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah
acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa
NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan
toleran.
Menjelang Munas 1994, Gus Dur
menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu,
Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum
Munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye
melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional
diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan
intimidasi. Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak
memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa
jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan
Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati
yang menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang besar dan
berencana tetap menekan rezim Soeharto.
Menjadi Presiden RI ke-4
Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta
dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P
memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati
memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR.
Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi
dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi
partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai
kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P
mulai berubah.
Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak
pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan
presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur.
Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden
baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia
ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.
Tidak senang karena calon mereka gagal
memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk dan Gus Dur
menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah
meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil
presiden dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil
meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati
ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz
dari PPP.
Komentar
Posting Komentar